First thing first,
I think I am now living in a world I have been
dreaming of.
Tapi masih sebagai newbie. Lebih newbie dari newbie sih,
apa ya nyebutnya? Baby step? Fase awal memulai kehidupan baru, di
dunia yang baru, dengan langkah yang masih tertitah. Dari yang semula tidak
tahu ke mana akan melangkah, tidak tahu tanah mana yang akan kuinjak. Ada
untungnya membiarkan diri bangkit sendiri setelah (((nyusruk))) sendiri tanpa
arah. Gapapa, namanya juga first time.
Salah satu hal yang ingin aku wujudkan dari beberapa tahun
lalu adalah nulis di blog, nge-review skincare, make-up, dan
printilan-printilan beauty lainnya. Tiap lagi skincare-an
malem tuh bawaannya pengen nyeritain perjalanan kulit muka aku bisa sampai
kayak sekarang, secara dulu jerawatan buanyak banget. Siapa tahu kan ya ada
orang di luar sana yang sedang jerawatan juga dan butuh referensi produk untuk
meredakan masalah kulitnya, khususnya mereka yang memiliki jenis kulit yang
sama seperti aku. Trus sekarang apakah aku sudah terbebas dari jeratan jerawat?
Bisa dibilang sudah, tapi masih suka muncul jerawat kalo mau menstruasi. Selain
jerawat, saat ini aku juga sedang fokus menangani masalah aging di
kulit dengan menggunakan produk anti-aging yang aman digunakan
di kulit berjerawat.
Kemudian make-up. Aku mulai
tertarik dengan make-up dari tahun 2014, awalnya iseng beli
kuas, lalu merambat ke lipstik (sampe sekarang juga masih addict banget
sama lipstik hahaha). Kurasa ga ada salahnya juga aku sharing
make-up karena selalu ada impresi dari masing-masing produk yang
kupakai. Dari skincare dan make-up akan muncul
masalah-masalah yang sering terjadi di kehidupan kita khususnya para beauty
enthusiast, kayak ‘gimana caranya tetep bisa jajan skincare dan make-up tapi
ga bikin bokek’ atau ‘kemasan skincare yang udah pada abis itu
enaknya langsung dibuang atau diapain dulu, ya?’. Gitu. Seperti ada bisikan
dari dalam yang memintaku untuk membahas hal-hal demikian.
Seiring berjalannya waktu, dari Februari 2020 sampai sekarang,
menerjunkan diri sebagai beauty blogger sangat mengajarkanku
akan banyak hal. Setidaknya ada 6 hal yang bisa aku pelajari dan tentu aku
sangat bersyukur akan ini. Apa aja tuh? Yuk, simak.
1. Menghargai Kualitas di
Atas Kuantitas
Karena sebelumnya aku sempat bekerja di perusahaan selama dua
tahun, jadi caraku menjalani kesibukan ini mirip-miriplah dengan kebiasaan
kantor. Mulai dari jam kerjanya, semuanya harus terstruktur, dan semua harus
berjalan sesuai rencana awal. Misalnya, duduk selama 8 jam bahkan lebih di
depan laptop, mastiin setiap progress dari review produk
udah di-update sedetail mungkin di excel, sampai maksain diri untuk
cepet-cepet nge-review semua skincare & make-up…
kayak seminggu harus bisa ngelarin 3 artikel bahasa Indonesia dan 3 artikel
bahasa Inggris. Iya kan blog ini konsepnya bilingual gitu neik
ambis banget pengen masarin sampe tingkat internasional wkwkwk.
Setelah dirasa-rasain, kok kayak dikejer apaan gitu ya tiap hari nelorin
1 artikel? Ngos-ngosan saya. Efeknya ga hanya di kualitas tulisan saja, tapi
juga di kualitas foto yang diambil seadanya. Pokoknya ada fotonya. Padahal ga
gitu. Pelan-pelan aku bisikin diri sendiri, “ini tuh bukan administrasi kantor
ya yang harus dikebut semaleman” wkwk. Udalah abis itu aku nyoba meditasi,
dengerin podcast dan youtube dari para healer yang
tujuannya untuk aku bisa lebih mendengarkan diri sendiri dan fokus terhadap apa
yang sedang aku kerjakan. Entah apa yang aku lakukan saat itu (ya aku lupa e,
piye), sampailah pada titik di mana aku harus mengutamakan kualitas daripada
jumlah tulisan. Atau disebutnya, quality over quantity. Ngapain
punya tulisan banyak tapi ga ada isinya? Buat apa nge-review banyak
dan cepet tapi yang disampaikan sebatas “bagus banget, bener-bener bagus, mau
meninggal”? Ini bukan sekadar review dari penulis yang hanya menulis,
tapi ini adalah sebuah ulasan yang disampaikan oleh beauty blogger.
Penulis di bidang kecantikan. Sebuah tanggung jawab sebagai seorang penulis di
bidang tertentu. Sebuah tanggung jawab yang ternyata aku ambil sendiri. Hmmmm,
kenapa jadi serius banget ya.
Jadi, tulisan dari beauty blogger ini harus layak
dijadikan sebagai referensi pembaca yang memiliki ketertarikan di bidang yang
sama atau mereka yang membutuhkan rekomendasi produk untuk
mengatasi permasalahan kulit yang sedang mereka alami. Mending bikin tulisan
seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali tapi kualitasnya bagus, daripada
kejar setoran sehari 1 artikel tapi bahasannya dangkal.
Kalo ada pikiran-pikiran bandel di kepala kayak:
“Sehari 1 artikel kan biar pengunjung blognya banyak, kak.”
Well, kamu mau sharing atau mau
ngejer traffic? Kalo sharing, lakukan dengan tulus dan
sepenuh hati. Traffic mah ada aja ntar, tenang aja.
“Sehari 1 artikel kan biar dianggap blogger aktif,
kak”
Bentar. Aku juga bingung ni jawabnya. Emang kalo
postingnya seminggu sekali atau dua kali tapi rutin, ga dianggep blogger aktif
ya?
“Tapi kayak detikcom itu update-nya tiap
hari kak, aku ga mau kalah!”
Wooh detikcom mah sehari seribu postingan juga
jadi itu. Detikcom begitu tuh karena penulisnya banyak, tingkat urgensinya juga
tinggi karena yang disampaikan adalah berita yang segar, aktual, dan tepercaya.
Sek, ini tagline berita mana ya.
Kalo yang sama-sama di bidang kecantikan,
contohnya Editorial Female Daily, dia itu kan penulisnya banyak jadi bisa
sering-sering update. Di samping itu, ada penyuntingnya juga yang
berperan untuk ngecek ulang tulisan yang akan terbit. Lah, kita? Udalah nulis
sendiri, motret sendiri, ngedit sendiri, posting di instagram sendiri.. ya
kalem bae udah. Kalo tetep mau posting sehari sekali atau
lebih, ya.. yang nulis jangan cuma kamu.
Lagi pula nge-review skincare juga ga bisa dilakukan
dalam rentang waktu yang singkat. Biarpun kita udah make produknya selama
setahun, atau kalo udah make selama itu tapi intensitasnya jarang, kita perlu
mastiin kalo progress yang kita inget, kita rasakan, dan
pastinya yang akan kita tulis itu real. Biasanya sih aku ambil
waktu satu sampai dua minggu untuk mengulang pemakaian produk tersebut secara
rutin, setidaknya aku bisa yakin akan efek yang dihasilkan setelah beberapa
kali pemakaian. Atau gampangannya, efek instan lah. Skincare berbeda
dengan make-up yang sekali pakai aja udah bisa di-review panjang
lebar.
Oya, buat kamu yang sempet baca artikel-artikelku sebelum tanggal
posting tulisan ini... selamat, kamu pernah jadi saksi baby step seorang
aku nulis beauty review hahahhaa. Selanjutnya akan aku edit ulang
tulisan-tulisan yang udah naik, penulisan akan dipertajam dan foto-fotonya
tentu akan kuganti dengan foto yang lebih menarik ❤️.
2. Belajar Motret
Sebulan terakhir ini aku belajar gimana caranya motret. Mulai dari
cara motret pake smartphone, mengenal teori color wheel,
teori rule of third, sampe ngeliat contoh foto-foto produk yang
bervariasi. Biasanya aku belajar dari channel youtube Martha Suherman
dan Rio Pharaoh. Ada juga beberapa youtuber luar negeri yang ga bisa aku
sebutin namanya karena… ga inget. Well, ternyata belajar fotografi
seru juga ya, ga bikin spaneng.
Keinginan belajar motret ini didorong dari rasa insecure-ku
waktu ngelihat postingan instagram skincare akun lain kok
bagus-bagus. Sementara fotoku cuma begini. Eh sini aku liatin hasil fotoku
sebelum dan sesudah belajar motret.
|
sebelum |
|
sesudah |
Sebelum: masih seadanya. Cuma pake alas foto kain bulu,
ngandelin lampu ruangan. Ini juga efek dari kebiasaan lalu yang pengen ngepost
1 artikel sehari, jadilah asal foto, pokoknya ada foto. Pernah juga dari sore
sampe malem ngebut motretin semua skincare yang ada. Padahal
ga gituuu.
Sesudah: nah, mulai ada perkembangan. Mulai ada
properti foto, lebih ngandelin cahaya matahari biar hasilnya maksimal. Biasanya
sih aku motretnya siang dari jam 1 sampai jam 3.
3. Memahami Personal
Branding di Media Sosial
Sebelum ngeblog aku ga ngerti loh maksudnya personal
branding di media sosial meskipun banyak orang di luaran sana yang
koar-koar soal ini. Mikirnya, yaelah personal branding kok di
media sosial, yaelah sosial media doang, atau dunia maya kok diseriusin banget
sih heran deh. Eh ternyata aku salah besar. Justru dari sosial media kita bisa
promosiin diri kita. Astaga. Aku. Ke. Mana. Aja.
Aku juga bisa share kesibukan aku sebagai blogger dengan
membagikan tulisan yang sudah diposting ke Instagram, dikemas dengan tampilan
semenarik mungkin. Kalo nge-share di twitter kan yaudah
tinggal copy paste judul dan link-nya, kelar deh.
Buat aku pribadi yang baru nyeriusin instagram sebagai salah satu ‘rumah maya’,
ada keseruan dan tantangan tersendiri dalam menyajikan postingan yang eyecatching.
Selain belajar motret seperti yang aku sampaikan di poin sebelumnya, aku juga
mulai nyari tau aplikasi mobile apa aja yang bisa aku gunakan
untuk mendukung aktivitas di dunia maya ini, salah satunya adalah aplikasi
Canva. Sebuah aplikasi penyedia berbagai macam template menarik, cocok untuk
aku yang pengen nge-post bagus tapi skill design masih
jongkok, hhh.
|
|
Dengan rajin-rajin posting review di instagram
dan nge-tag brand bersangkutan, selain menguntungkan brand dan online
shop juga bermanfaat untuk mengenalkan siapa diri aku kepada penduduk
instagram. Ya siapa tau diajak kerja sama ya kan *wink*. Oh atau dilirik
sama Female Daily hehhee *wink lagi*.
Ada kata personal dalam personal branding,
berarti sifatnya pribadi dong. Memang, tujuan kita membuat sosial media sebagai
sarana personal branding adalah untuk menarik pengunjung biar
ngeliat karya kita, nge-follow kita, nge-like postingan
kita, tapi balik lagi itu semua asalnya dari kita. Yang kita sajikan ke mereka
adalah diri kita. Jadi postingan yang nongol di twitter, instagram, bahkan blog
itu sedikit banyak memancarkan aura dan pribadi diri kita. Misal di instagram,
kebanyakan skincare reviewer itu feed-nya
bernuansa putih sebagai representasi bahwa skincare itu harus
higienis dan merupakan tujuan dari skincare juga yang merawat
wajah kita supaya bersih. Tapi masa sih feed instagram skincare harus
melulu putih atau hijau kalo skincare-nya terbuat dari bahan alami
seperti tumbuh-tumbuhan? Berarti kalo dibatesin warna, ga ada kesempatan kita
untuk berkreasi dengan warna lain? Ga bisa nunjukin mood kita,
selera kita? Hhh, yaudin, kembali pada keyakinan masing-masing. Kalo aku
pribadi sukanya sesuatu yang colorful untuk tampilan sosial
media (kalo barang atau perabotan sih aku lebih suka warna putih), jadi
bagaimana aku mengemas foto skincare untuk aku review ya
semau aku enaknya pakai warna apa. Bukan ga mau pakai warna putih juga, tapi
sejujurnya aku kurang bisa menyamakan tone masing-masing foto
kalo latarnya putih semua hahaha. Ada satu foto yang putihnya putih bersih,
yang satunya putih gading, satunya putih agak gelap, atau satunya putih yang
terlalu putih silau. Auk ah.
Update 4 September 2020: saat ini aku sedang
belajar gimana caranya motret pake background putih dong wkwkw
kenyang banget makan omongan sendiri mantap.
4. Ini adalah tentang Seni
Sebentar. Ini masih lanjutan dari poin ketiga.
Motret, nulis, dan personal branding. Motret itu
bagian dari seni. Begitupun menulis. Jadi kalo kita memiliki jiwa seni yang
tinggi, sah-sah aja dong percikan seni itu muncul di media sosial yang memang
gunanya untuk personal branding?
Seni itu bebas, liar, tidak terpancang aturan. Seni itu tentang
selera, rasa, sangat personal sekali. So, kalo kita punya
‘gaya’ tersendiri dalam memotret, menulis, ya gapapa pertahankan aja karena itu
milik kita. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah dalam seni.
5. Lebih Peka terhadap
Makna di Balik sebuah Kalimat
Nah di atas udah ngomongin foto, sekarang ngomongin tulisan.
Sebelum ngeblog, secara ga sadar aku sering tergiur oleh iklan
atau review selebgram yang gatau itu bener apa ngga. Setelah
ngeblog, sering nulis, sering riset kandungan produk skincare, jadi
ngerti kalo kalimat iklan itu kebanyakan… lebay. Kalimat iklan tuh sebenernya
ga salah, dia bener, cuman cara penyampaiannya aja yang bikin kita tinggi
harapan. Misal nih, ada skincare yang mengandung AHA BHA, udah
tau kandungan ini gunanya untuk eksfoliasi dan peremajaan kulit sehingga
apabila digunakan secara rutin akan membuat kulit terlihat lebih cerah. Di
kalimat iklan, bisa jadi produk ini diklaim memiliki manfaat dapat memutihkan
wajah. MISAL LOH YA INI MISAL. Astaga para copy writer please jangan
serang aku. >.<
Dari sini mulai paham kalo beli skincare liat
dulu bahan dasarnya apa, kandungannya apa aja, jangan mudah terpengaruh sama
kalimat iklan.
Selain itu, aku juga jadi lebih peka sama cara seseorang
menyampaikan sesuatu. Apakah kalimat yang ia sampaikan ini tulus atau hanya
permainan kata-kata untuk meyakinkan audience.
6. Lebih Mengenal Diri
Sendiri
Lebih mengenal diri sendiri merupakan kesimpulan dari 5 poin
sebelumnya. Mulai dari aku yang ternyata bisa belajar memahami dan
menerapkan quality over quantity, aku yang ternyata seneng motret
produk, aku yang malah jadi tertarik sama self-branding di
media sosial padahal sebelumnya apatis, aku yang bisa menemukan ternyata ada
jiwa seni dalam diri, sampai aku yang bisa mendeteksi apakah sebuah kalimat itu
jujur atau hanya serpihan-serpihan apaan tauk yang dikemas sedemikian rupa demi
menarik audience. Kelima hal ini bisa dibilang masih secuil dari
proses aku mengenal diri sendiri. Tentu ke depannya akan lebih banyak hal lain
yang aku temui dalam diri.
Senang sekali bisa mengenali potensi dalam diri dari melakukan apa
yang aku sukai. Tanpa paksaan, tanpa keharusan, tapi karena kemauan. Aku
tidak harus belajar sesuatu, tapi aku mau belajar
sesuatu.
Hai kamu yang baca tulisan ini, potensi dalam diri apa saja yang
berhasil kamu temukan selama menjalani pekerjaan atau hobi yang kamu
cintai? Share di kolom komentar yuk biar pembaca lain bisa
ikut terinspirasi menggali potensi mereka.
Cheers!